Dari Gerobak, Kacang Hijau, dan Lima Sarjana: Jalan Sunyi Aji Takrim Mengalahkan Nasib

ONEPOST.ID, KOTAMOBAGU – Udara sore sepoi -sepoi Rawamangun, Kelurahan Mogolaing, benar-benar hangat ketika suara serak namun tetap bersemangat itu mulai memantul dari dinding-dinding dan jendela rumah warga.

Pada pukul lima sore. langit biru sudah mulai gelap di saat itu Suhara sudah bersiap dengan gerobak kecilnya yang catnya mulai pudar.

“Bubur kacang hijau uuennnaaakk…” teriaknya.

Suara itu menjadi alarm manusia bagi para pelanggannya setianya, penanda bahwa penjual bubur legendaris itu sudah tiba.

Begitulah Suhara Aji Takrim, 55 tahun, mengawali hari-harinya selama hampir 20 tahun.

Tangannya yang penuh urat meraih pegangan kayu, mendorongnya pelan melewati gang sempit yang berlubang kecil menghantam gerobaknya.

Suara musik kecil yang menemaninya, dan langkah demi langkah, dengusan napas, dan bau bubur hangat yang mengepul dari panci aluminium besar.

Sore itu, seperti sebelumnya, ia memulai perjalanan yang panjang. Perjalanan yang bukan sekadar rute dagang, melainkan rute untuk merawat cita-cita dan menggapai mimpi yang tak pasti sampai ke ujung mana.

Mendampingi anak terakhir wisuda tahun 2023 di IAIN Gorontslo

Suhara memulai jualan bubur kacang hijau pada 2005. Bukan keputusan spontan. Saat itu, anak sulungnya baru naik ke bangku SMA. Pengeluaran naik, sementara pendapatannya sebagai pekerja serabutan tidak lagi stabil.

“Waktu itu saya bilang ke istri, kita harus cari cara biar anak-anak tetap sekolah,” katanya, di sela jeda istirahat malam.

Gerobak pertamanya sederhana. Roda sebelah kirinya sering macet. Ia menambalnya dengan kayu dan paku. Kalau hujan, air menetes dari terpal usang yang diikat tambang plastik.

Namun bagi Suhara, semua itu bukan alasan berhenti.

Setiap hari ia mendorong gerobak menyusuri puluhan gang dan jalan tikus yang saling tersambung seperti labirin.

Dari rumah menuju Pasar Serasi Gogagoman dan menelusuri puluhan gang berliku total jarak pulang-pergi mencapai sekitar 20 kilometer.

Jika dihitung, selama 20 tahun ia telah menempuh jarak setara perjalanan mengelilingi Indonesia lebih dari 10 kali.

“Terkadang kaki sakit sekali. Tapi kalau anak-anak pikirannya sedang butuh uang sekolah, sakit ya dilawan,” ujarnya.

Di Pasar Serasi, dan sekitarnya Suhara bertahan hingga larut malam. Semangkuk bubur ia jual seharga Rp5.000. Keuntungan bersih semalam rata-rata Rp150 ribu.

Tidak besar, tapi tetap disyukuri. Dalam kurun tertentu, gerobaknya diganti, diperbaiki, dipertebal, diperhalus tapi jalannya tetap sama, pelan tapi pasti.

Ratnawati Rivai, 52 tahun, istrinya yang biasa dipanggil Umi dikalangan warga, menjadi sosok sunyi di balik layar sukses perjuangan itu.

Setiap malam ia menyiapkan kacang hijau, santan, dan gula aren. Tangannya cekatan, sementara pikirannya sibuk menghitung kebutuhan esok.

“Terkadang kami berdua hanya makan seadanya, Tapi yang penting rezekinya halal. Itu yang kami kasih ke anak-anak.” ungkap Ratna dengan penuh lirih

Dengan pendapatan yang tidak seberapa, keluarga ini menyusun mimpi dengan cara paling tradisional disiplin, hemat, dan doa yang tak pernah putus.

lima abnak dari Suhara Takrim dan Ibu Ratnawaty Rivai yang berhasil menamatkan perguruan tinggi.

Perlahan, hasilnya tampak. Lima anak mereka berhasil menamatkan perguruan tinggi.

* Anak pertama, Sarjana Hukum
* Anak kedua, Sarjana Bahasa Inggris. ASN PPPK di SMP Negeri Momalia, Bolsel.
* Anak ketiga, sarjana Pendidikan Agama. ASN PPPK. Sekolah SD Limboto. Gorontalo
* Anak keempat, Memilih Wirausaha Kuliner di Kotamobagu.
* Anak bungsu, Sarjana Hukum. ASN di Kemenag Sulut. diberikan Tugas di KUA Kepulauan Talaud, kecamatan Beo.

Ketika menyebut profesi anak-anaknya, suara Aji Takrim bergetar sedikit menarik napasnya dengan pelan dan mengusap pelan tepian gerobaknya, seakan mengingat seluruh jalan panjang yang pernah dilalui yang begitu rumit tapi pasti.

“Kalau ditanya apa yang saya wariskan, ya cuma pendidikan, harta tidak punya. Tapi semoga ilmu itu cukup untuk hidup mereka.” katanya pelan tapi menyisakan pesan mendalam dan penuh makna.

Di titik ini, gerobak bubur bukan lagi alat berdagang. Ia sudah naik kelas menjadi simbol dari kerja keras keluarga. Dari panci-panci panas itulah masa depan disajikan.

Kadang, sukses datang dari paduan sederhana, ketekunan yang tidak dipertanyakan, kesabaran yang tidak dipamerkan, dan keyakinan yang tidak digembar-gemborkan.

Suhara Takrim tidak pernah menulis visi hidupnya di papan atau buku agenda. Ia hanya bangun sebelum matahari terbit untuk bisa bekerja lebih banyak.

Tapi dari gerobak kecilnya lahir lima sarjana, sebuah pencapaian yang bahkan sebagian keluarga kelas menengah pun belum tentu mampu.

Lima anak mereka berhasil menamatkan perguruan tinggi.

Di pasar, Tidak sedikit pelanggan menyapanya dengan hangat. Mereka tidak hanya membeli bubur, tapi juga menghormati perjalanan panjang seorang ayah yang memilih tidak menyerah pada keadaan.

Menjelang larut malam setelah buburnya habis. Suhara berkemas merapikan alatnya menutup panci buburnya. setelah itu Gerobak itu didorong perlahan kembali ke rumah. Menepi ke gang-gang kecil untuk menuju tempat tinggalnya.

Tetapi langkahnya tidak lagi seberat 20 tahun lalu. Sebab kini, setiap meter jalan terasa lebih ringan oleh rasa puas sebagai seorang ayah yang mampu memberikan hadia masa depan untuk anak-anaknya.

“Saya tidak mau dihargai. Cukup orang bilang bubur saya enak. Dan anak-anak saya berhasil, itu sudah lebih dari cukup,” katanya dengan penuh senyum yang menghiasi pipinya.

Di tempat lain, kota sibuk membicarakan ambisi, kompetisi, dan angka-angka. Tapi di sebuah gang kecil Mogolaing, seorang penjual bubur telah mencapai puncak kesuksesannya sendiri bukan dengan angka, bukan dengan gelar kehormatan, tetapi dengan hati yang bekerja tanpa henti.***

Comment